Desa
Bali Aga di Kecamatan Banjar yang dikenal sebutan SCTPB (Sidetapa,
Cempaga, Tigawasa, Pedawa dan Banyuseri) memang terkenal akan tradisi
dan kerajinan bambunya. Setiap desa di Bali Aga pasti ditemukan
pengrajin bambu yang sudah dikenal di pelosok Bali, nasional bahkan di
mancanegara. Kerajinan inilah merupakan sektor uggulan Kabupaten/Kota
Kreatif yang dinobatkan oleh Kemenparekraf RI kepada Buleleng saat
Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif Indonesia (PMK3I) sektor Kriya.
Putu Indrayana laki-laki 42 tahun, sibuk menumpuk benda berbagai bentuk di atas meja stand Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Buleleng Development Festival (BDF). Dagangannya agak mencolok dari deretan stand UMKM lainnya, karena unik dan khas. Sesekali dia mempercepat gerakannya menuntaskan penataan barang dagangan, berkejaran dengan langit yang dengan cepat berubah menjadi jingga.
Bimbo nama beken Indrayana adalah warga asli Bali Aga. Dia lahir dan besar di Banjar Dinas Pangus Sari, Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Buleleng. Sebagai warga asli Bali Aga, akan durhaka bagi Bimbo jika tidak tahu cara membuat berbagai produk kerajinan anyaman bambu. Benar saja lelaki yang hanya lulusan kejar paket B ini, kini telah sukses menjalankan usaha anyaman bambu.
Usaha anyaman bambu ini dilakoninya sejak berumur 20 tahun. Awalnya dia hanya bekerja dengan teman yang memiliki modal lebih menjalankan bisnis ikon Bali Aga. Namun putra ketiga dari sembilan bersaudara ini, membulatkan tekadnya untuk maju. Tanpa modal sepeserpun Bimbo mengawali bisnis anyaman kerajinan bambu.
Untuk memotong biaya produksi dia mengerjakan kerajinan itu sendiri. Awalnya hanya membuat keben (tempat sarana upacara banten). Namun kini sudah ada 10 jenis produk anyaman bambu yang dikuasai dan dijualnya.
“Saya memulai usaha ini karena saya dari desa dilahirkan dari keluarga tidak mampu. Karena bapak ibu bercerai saya tinggal bersama paman. Keterbatasan ini membuat saya hanya punya ijazah kejar paket B. Yang akhirnya saya mencari penghasilan dari hal dan keterampilan yang saya kuasai yakni menganyam bambu,” ucap ayah dua anak ini saat ditemui Kamis,(24/8) petang di lapangan Bhuwana Patra.
Keterampilan menganyam bambu di Desa Tigawasa dan desa Bali Aga lainnya di Buleleng sudah diwariskan secara turun temurun. Hampir 80 persen penduduk di Desa Tigawasa menguasai cara membuat aneka kerajinan bambu. Mulai dari bedeg (dinding anyaman bambu), keben berbagai jenis dan motif, tempat lilin, tempat tisu, tempat sampah hingga tempat lampu dan keranjang.
Bimbo mengaku awal menjalani usaha anyaman bambu ini, hanya bermodalkan kepercayaan. Order didapatkannya dari teman dekatnya. Temannya kemudian membantu pemasaran ke beberapa artshop. Seiring berjalannya waktu produksi anyaman bambu dari rumah produksi Indra Bambu dikenal banyak orang.
Sejak lima tahun terakhir Bimbo melakukan ekspansi pemasaran bisnisnya ke sistem online. Rutinitas mengunggah produk anyaman bambu di mulai di media sosial pribadinya. Pernah juga memasarkan produk di marketplace ternama di Indonesia. Keputusannya untuk mengikuti arus kekinian yang serba digital berbuah manis. Peningkatan order produk anyaman bambunya meningkat drastis. Meski sempat lesu saat Pandemi Covid-19 yang baru saja berakhir. Namun gairah perputaran ekonomi mulai dirasakan kembali saat ini. Order mulai bermunculan. Bahkan saat ini pria kelahiran 10 Desember 1981 ini rata-rata dapat menjual 50-70 picis per bulannya. Yang paling laris adalah keben. Produk anyaman bambu banyak digemari dan dicari dari warga lokal Bali. Beberapa ada juga permintaan dari luar Bali dan wisatawan mancanegara. Satu produk dijual dengan harga berkisar Rp 7.000 sampai Rp 500.000.
“Pemasaran online tentu sangat menguntungkan. Kalau dulu masih konvensional begitu produk jadi harus nganvas keliling pakai sepeda motor, itu pun belum tentu laku. Kalau sekarang tinggal duduk di rumah main HP orderan masuk,” katanya.
Saat ini suami Putu Eka Ariati ini menaungi 20 orang reseller yang membantu memasarkan produk kerajinanya, melalui akun-akun bisnisnya. Sedangkan untuk produksi Bimbo juga mempekerjakan 2 pegawai tetap. Sewaktu-waktu saat banjir orderan anyaman setengah jadi disuplai dari kelompok-kelompok perajin anyaman di desanya.
Hanya saja rumah produksinya saat ini masih mengalami keterbatasan dalam penerimaan order dari konsumen. Utamanya saat pesanan menumpuk jelang hari raya. Produksi anyaman bambu yang masih manual menggunakan tanggan membuat jumlah produksi tidak bisa dalam jumlah banyak. Apalagi saat musim hari raya dan musim panen cengkih. Seluruh perajin anyaman bambu di Tigawasa akan beralih mengelola hasil kebun mereka. Pada masa ini rumah produksi anyaman bambu tidak menerima order selama dua bulan.
Keterbatasan SDM juga dialami saat ini kemajuan dan perkembangan pola pikir masyarakat Tigawasa. Saat ini anak-anak remaja dan dewasa difokuskan untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Sehingga pasukan perajin anyaman bambu di desa menjadi berkurang karena sebagian sudah merantau untuk bersekolah dan bekerja di luar desa.
“Persoalan ini sebenarnya membuat kami dilema, disatu sisi kami bangga anak-anak kami dapat sukses dan mengenyam pendidikan tinggi dari hasil anyaman bambu. Tetapi kami tetap yakin karena Bali punya Taksu, apa yang kami jalani turun temurun ini akan tetap eksis selama masih ada upacara di Bali,” terang Bimbo.
Untuk menghadapi tantangan yang semakin berat, Bimbo pun harus rajin-rajin berinovasi. Dia beberapa kali mengikuti pelatihan untuk meningkatkan manajemen bisnis, peningkatan kualitas produk hingga desain produk inovatif. Menurutnya pemerintah saat ini sudah sangat mendukung untuk pengembangan produk UMKM.
Dia pun berharap kedepannya Pemerintah Desa Tigawasa dengan lahan-lahan milik desa dapat dimanfaatkan dan dikelola, untuk pembudidayaan bambu yang menjadi bahan dasar. Sebab pasokan bambu untuk kerajinan anyaman di Tigawasa mulai berkurang karena alih fungsi lahan. Sejumlah warga yang memiliki lahan dan pohon bambu menggantinya dengan tanaman yang memiliki peluang hasil yang lebih menjanjikan seperti cengkih dan durian.
“Mudah-mudahan lahan-lahan milik desa ini bisa dikelola oleh BUMDes atau kelompok untuk ditanami bambu. Sehingga kami bisa beli disana saat pasokan bahan baku berkurang. Ini juga salah satu upaya menjaga daerah resapan air selain melestarikan kerajinan anyaman bambu,” ucap Bimbo.
Sementara itu Kepala Dinas Perdagangan Perindustrian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Dewa Made Sudiarta mengatakan, saat ini pemerintah sedang mengupayakan UMKM naik kelas. Yang dimaksudnya naik kelas adalah peningkatan kualitas, manajemen dan juga pemasaran secara digital. Sehingga produk UMKM Buleleng bisa dikenal di Bali, Indonesia bahkan dunia.
Dinas Dagperinkop UMKM pun terus mendorong pelaku usaha untuk melakukan pemasaran produknya melalui online. Data Dinas Dagperinkop UKM, di Buleleng terdata ada sebanyak 66.368 UMKM yang bergerak di bidang perdagangan, industri pertanian, industri non pertanian dan aneka jasa. Sedangkan yang sudah mengembangkan sayap pemasaran digital baru 47 usaha. Puluhan usaha ini bisa ditemui di marketplace ternama di Indonesia maupun di media sosial.
“Jumlahnya memang masih sangat sedikit. Itu yang sudah melapor saja, tetapi kami yakin di luar ini masih ada yang belum terdata. Kami tetap dorong dan juga fasilitasi melalui pelatihna-pelatihan peningkatan kapasitas UMKM,” terang Sudiarta.
Baca Juga:
Digitalisasi Pelayanan Publik, Tingkatkan Peluang Ekonomi Buleleng