Bentangan wilayah Buleleng yang begitu luas dari barat sampai timur dengan iklim tropis bahkan cenderung panas, banyak pohon yang cocok dengan iklim tersebut seperti kelapa, jambu mente, pohon lontar dan lain sebagainya. Di wilayah Buleleng Timur tepatnya di Desa Les Kecamatan Tejakula, terkenal dengan banyaknya pohon lontar. Nira dari pohon lontar itu disebut tuak. Bisa dikonsumsi langsung, bisa juga diolah menjadi gula. Tetapi gula yang diproduksi Desa Les berbeda dengan desa lainnya. Kendati nira yang didapat dipakai membuat gula merah dengan bentuk bulat dan padat, namun di desa itu cenderung diolah menjadi gula juruh.
Seperti yang dituturkan oleh petani tuak dari Desa Les. Ketut Kertiyasa dulunya adalah seorang buruh bangunan di Denpasar. Seiring berjalannya waktu, Bali terdampak Covid-19. Semua aktivitas dihentikan termasuk proyek pembangunan.
"Gula ini berwarna coklat. Tidak jauh beda dengan gula merah pada umumnya, tetapi teksturnya kental. Gula ini banyak peminatnya. Tidak saja dalam kabupaten, tetapi juga luar kabupaten hingga keluar daerah," ungkapnya.
Dari awal pemesanan untuk gula juruh, lambat laut merambah ke orderan yang lain. Tuak manis dan tuak wayah pun menjadi produk tambahan yang ia jual. Tetapi, sekali lagi, ia memasarkannya tidak hanya dalam daerah, tetapi juga ke luar daerah. Ia lantas berkolaborasi dengan saudaranya yang bertransmigrasi di Pulau Sumatera. Tepatnya di Desa Air Talas, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.
“Ada saudara tinggal disana. Jadi saya minta bantuan kerjasama sama saudara saya untuk memasarkannya di Sumatera,” tambahnya.
Kembali dituturkan oleh Ketut Kertiyasa alasan dirinya menekuni menjadi petani, bahwasannya Covid-19 menyebabkan kehilangan pekerjaan. Ia terpaksa pulang kampung lantaran sudah tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan kala itu di kota. “Pulang, kembali ke rumah,” singkatnya.
Di kampung halamannya, Kertiyasa melihat beberapa pohon lontar milik keluarganya masih subur. Belajar dari pengalaman ayahnya yang seorang pensiunan petani gula juruh, Kertiyasa mencoba untuk menyadap nira. Ia mulai belajar membuat gula juruh lalu menjualnya. Tetapi usaha menjual gula juruh dirasa belum cukup. “Coba lagi dan tambah lagi,” singkatnya.
Perjuangan Kertiyasa begitu gigih. Dari atas bukit Buu Desa Les, ia harus turun menuju jalan raya. Kemudian ia harus menunggu bus yang datangnya belum tentu pagi. Kadang siang atau petang. Ia pun harus menyesuaikan dengan kedatangan bus agar produk yang akan dikirim ke Sumatra aman.
Dari Bali hingga ke Sumatera dengan bus, tentu perjalanan yang sangat panjang. Tuak-tuak yang telah dipacking Kertiyasa itu melewati puluhan kecamatan hingga ratusan desa/kelurahan untuk sampai di lokasi tujuan. Hebatnya, tuak-tuak dalam wadah botol itu masih tetap nikmat saat tiba di Sumatera. Tidak meledak apalagi berubah rasa secara drastis.
“Jarak tempuh kurang lebih 1.744 km dengan waktu tempuh kurang lebih 27 jam,” ujar Ketut memperkirakan waktu pengiriman.
Ternyata produk petani yang akrab disapa Tut Nik ini disambut baik konsumen. Hingga kini pengiriman tidak pernah putus. Bahkan ia merambah pengiriman Rengginang serta kue kering lainnya ke wilayah Sumatera.
“Ada jaje rengginang, kue kering, ikan laut dan makanan olahan dari laut juga saya bawa kesana,” tutup Kertiyasa.
Baca Juga:
Atasi Kesenjangan Digital, Pemkab. Buleleng Resmikan Pembangunan Tower Internet Bambu di Desa Tembok